Thorekat Rifa’iyah
Thorekat Rifa’iyah.
Ordo Tarekat pada awalnya
merupakan perkumpulan para murid mengelilingi guru sufisme terkenal untuk
mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan
upacara tatabrata atau bai’at apapun. Selanjutnya ordo tarekat menjadi suatu
ikatan yang sangat ketat dan adanya berbagai aturan seperti bai’at, ijazah,
silsilah, dan sebagainya.
Dalam agama Islam,
banyak sekali aliran keagamaan yang berkembang, baik dalam bidang ilmu kalam
(teologi) atau akidah, fikih, tasawuf, maupun lainnya.
Dibandingkan bidang teologi
dan fikih, aliran yang paling banyak berkembang adalah tasawuf. Setidaknya,
banyak cara umat Islam dalam mendekatkan diri kepada Allah melalui pendekatan
olah spiritual (hati), khususnya tasawuf.
Dalam ilmu tasawuf,
salah satu upaya yang dikembangkan untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri
kepada Allah) adalah mengikuti tarekat. Tarekat berasal dari bahasa Arab, yakni
thariqah, yang berarti jalan.
Sedikitnya terdapat 42
tarekat mu’tabarah (terkenal) di dunia. Mulai dari tarekat Qadiriyah,
Naqsabandiyah, Qadiriyah wan Naqsabandiyah, Syadziliyah, Sammaniyah, Tijaniyah,
Khalwatiyah, Syattariyah, Khalidiyah, Mufaridiyah, hingga Rifa’iyah.
I.
Pengertian Thorekat
Rifa’iyah
Kata Tarekat di ambil
dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti
jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian)
ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh
Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir
al- Qulub-nya adalah;
”Tarekat adalah beramal
dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang
rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal
ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan
syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya;
meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang
sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di
bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang
telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”
Dari definisi di atas
dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara
azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang
berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan
semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang
haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat)
yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya
ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman
dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah).
Ajaran Rifa’iyah ialah
suatu tuntunan Islam yang tertulis didalam kitab-kitab tarjumah berbahasa Jawa
dan bahasa Melayu karangan Hadlaratusy K.H Rifa'i bin Muhammad. Dalam
menguraikan ajaran Rifa’iyah, dia membagi menjadi dua aspek:
Pertama, ajaran yang
bersifat ubudiyah, terdapat pada kitab-kitab Tarjumah yang ditulis oleh KH.
Ahmad Rifa'i. Kitab Tarjumah itu berisikan bahasan tentang berbagai masalah
ibadah, yang dirinci dalam bidang tauhid, fikih, dan tasawuf. Dikatakan sebagai
kitab tarjumah karena bahasa yang dipergunakan dalam kitab itu adalah bahasa
Jawa, sebagai terjemahan dari kitab-kitab al-Quran dan Sunnah, serta
kitab-kitab para ulama yang dipandangnya baik. Adapun bentuk tulisannya Arab
Jawa (Pegon), dengan uraian berbentuk syair. Kemampuan menyampaikan Islam
dengan kitab berbahasa Jawa, dan berirama syair ini menarik bagi orang Jawa.
Di antara beberapa
kitab karangannya, terdapat tiga buah yang merupakan induknya, yaitu Kitab
Ri’ayatul Himmah, Kitab Abyanal Hawaij, dan Kitab Muhibbah. Ketiga kitab itu
mengandung pelajaran dasar tentang ilmu tauhid, fikih, dan tasawuf. Ketiga
kitab ini yang sering digunakan dalam pesantren-pesantren rifa’iyah. Oleh
karena itu di bawah ini digambarkan ajaran Rifa’iyah dengan mengambil sumber
dari ketiga kitab itu.
II. Sejarah
Thorekat Rifa’yah
Tarekat Rifa'iyah
pertama kali muncul dan berkembang luas di wilayah Irak bagian selatan,
didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Beliau lahir di Qaryah
Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H / 1106 M. Sumber lain ada juga yang
menyebukan beliau lahir pada tahun 512 H / 1118 M. Abu Bakar Aceh dalam bukunya
Pengantar Ilmu Tarekat menulis bahwa Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i
menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah Irak bagian selatan. Ketika
berusia tujuh tahun ayahnya meninggal dunia, kemudia beliau diasuh oleh pamannya
Mansur al-Bathaihi, seorang syekh tarekat.
Selain berguru kepada
pamannya Mansur al-Bathaihi beliau juga belajar pada pamannya Abu al-Fadl Ali
al-Wasiti, terutama tentang mazhab fikih Imam Syafi'i, sehingga pada usia 21
tahun beliau telah berhasil memperoleh ijazah dan khirqah sembilan dari
pamannya, sebagai pertanda telah mendapat wewenang untuk mengajar pula.
John L Esposito dalam
Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern menuliskan bahwa garis keturunan
ar-Rifa'i sampai kepada Junaid al-Baghdadi (wafat 910 M) dan Sahl al-Tustari
(wafat 896 M).
Pada tahun 1145
ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk
ar-Rifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat
sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.
Tarekat Rifa'iyah
berbeda dengan Organisasi Kemasyarakatan Rifa'iyah yang ada di Indonesia. Ormas
Rifa'iyah didirikan oleh Syekh Haji Ahmad ar-Rifa'i al-Jawi bin Muhammad bin
Abi Sujak bin Sutjowijoyo, yang lahir pada 9 Muharam 1200 H / 1786 M di Desa
Tempuran Kabupaten Kendal, terakhir dianugerahi Pahlawan Nasional oleh
Pemerintahan SBY.
Tarekat Rifa'iyah yang
juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting dalam pelembangan
sufisme. Di bawah bimbingan ar-Rifa'i tarekat ini tumbuh subur, sehingga dalam
tempo yang tidak terlalu lama tarekat ini berkembangan luas keluar Irak, di
antaranya ke Mesir dan Suriah. Hal ini disebabkan murid-murid tarekat ini
menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah.
Perkembangan berikutnya
Tarekat Rifa'iyah sampai ke kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, Kaukasus
dan wilayah Amerika Utara. Para murid Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di
tempat-tempat tersebut, alhasil jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah meningkat
dengan sistem syekh turun-temurun.
Tarekat Rifa'iyah juga
sampai tersebar ke Indonesia, seperti di Aceh (terutama di bagian barat dan
utara), di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh tarekat ini
lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang berarti "tabuhan rebana" berasal
dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat Rifa'iyah sendiri.
Walaupun Tarekat
Rifa'iyah terdapat di tempat-tempat lain, namun menurut Esposito tarekat ini
paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah,
Irak dan Amerika Serikat.
Pada akhir masa
kekuasaan Turki Usmaniyah (Ottoman), Rifa'iyah merupakan tarekat penting,
keanggotaannya meliputi tujuh persen dari jumlah orang yang masuk tarekat sufi
di Istanbul.
III. Ajaran
Thorekat Rifa’yah
Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa'iyah
harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik
ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu minggu pada awal Muharam.
Menurut Sayyid Mahmud Abul al-Faidl
al-Manufi, Tarekat Rifa'iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu :
1. Tidak meminta sesuatu.
2. Tidak menolak.
3. Tidak menunggu.
Sementara menurut asy-Syarani, tarekat
ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan ma'rifat (puncak tertinggi
dalam ajaran tasawuf).
Dalam pandangan Syekh ar-Rifa'i,
sebagaimana diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan landasan
keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan.
Asketisme adalah langkah pertama seseorang menuju kepada Allah, mendapat ridha
dari Allah dan bertawakkal kepada Allah. Menurut Syekh ar-Rifa'i "Barang
siapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi
benar".
Mengenai ma'rifat Syekh ar-Rifa'i
berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada
Allah disertai ilmu yakin dan terbukanya hakikat realitas-realitas secara
benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan ma'rifat
menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni,MA dalam tulisannya mengenai
Syekh ar-Rifa'i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa'iyah ini semasa
hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema "Cinta Ilahi" yang
bunyinya : "Andaikan malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu.
Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani
derita dan putus asa. Di bawahku lautan menggelora/kecewa. Tanyalah atau
biarkanlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya,
sementara dia dipercaya tanpa-Nya dan dia tidak terbunuh, kematian itu istirah
baginya. Bahkan dia tidak dapat mati sampai bebas karenanya".
Syair di atas merupakan salah satu
bentuk asketisme yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Rifa'i dalam mencapai hakikat
tertinggi mengenal Allah, yaitu tingkat ma'rifat.
Ciri khas Tarekat Rifa'iyah terletak
pada dzikirnya yang disebut dengan darwis melolong, karena dilakukan
bersama-sama dengan diiringi suara gendang bertalu-talu. Dzikir itu dilakukan
sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan
yang menakjubkan, seperti berguling-guling dalam bara api, tetapi mereka tidak
terbakar sedikit pun.
Menurut John L Esposito, sebagian kaum
Rifa'iyah terkenal karena mengikuti praktik upacara, seperti menusuk kulit
dengan pedang dan makan kaca. Hal ini menyebar bersama Tarekat Rifa'iyah sampai
ke Kepulauan Melayu. Namun saat ini praktik seperti itu tidak lagi dilakukan,
karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di Sumatera para pengikut Rifa'iyah ini
memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan senjata tajam, diiringi dengan
dzikir-dzikir tertentu. Dalam bahasa Arab Dabus artinya "besi yang
tajam".
Christian Snouck Hurgronye dalam De
Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang sering dimainkan di Sumatera ini
sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa'iyah.
Dabus ini juga berkembang di daerah
Sunda, seperti diungkapkan C.Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri
Soenda.
Di Sumatera Barat kesenian dabus ini
dikenal dengan sebutan TABUIK, tepatnya di daerah Padang Pariaman.
Dalam Encyklopedia van Nederlandsch
Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa'iyah ini bersama-sama
dengan permainan dabus.
Secara etimologi pengertian tarekat
berasal dari bahasa arab “ thariq" yang berarti jalan, cara, keadaan,
haluan, aliran pada garis sesuatu. Sedangkan menurut istilah tarekat ialah perjalanan
seorang slidik (pengikut tarekat) manuju tuhan dengan cara menyucikan diri.
Dengan kata lain tarekat ialah perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang
untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Syarat utama yang perlu diperhatikan
oleh pengikut tarekat ialah untuk mendekatkan diri pada Tuhan, tidak dibenarkan
meninggalkan syari’ah.
Tarekat rifa’iyah didirikan oleh Syekh
Ahmad bin Ali Al-Rifa’I (1106-500 H). Ciri khas tarekat Rifaiyah adalah
pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang
yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukan sampai mencapai suatu keadaan
dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tarekat
ialah suatu system dan cara-cara beramal dari irsyad seorang guru terhadap
muridnya yang mengikat dalam suatu mazhab tertentu yang pada dasarnya untuk
menjalankan sunnah Rasulullah saw secara optimal dan sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar