Minggu, 06 Agustus 2017

Thorekat Rifa’iyah


Thorekat Rifa’iyah



Thorekat Rifa’iyah.
Ordo Tarekat pada awalnya merupakan perkumpulan para murid mengelilingi guru sufisme terkenal untuk mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan upacara tatabrata atau bai’at apapun. Selanjutnya ordo tarekat menjadi suatu ikatan yang sangat ketat dan adanya berbagai aturan seperti bai’at, ijazah, silsilah, dan sebagainya.
Dalam agama Islam, banyak sekali aliran keagamaan yang berkembang, baik dalam bidang ilmu kalam (teologi) atau akidah, fikih, tasawuf, maupun lainnya.
Dibandingkan bidang teologi dan fikih, aliran yang paling banyak berkembang adalah tasawuf. Setidaknya, banyak cara umat Islam dalam mendekatkan diri kepada Allah melalui pendekatan olah spiritual (hati), khususnya tasawuf.
Dalam ilmu tasawuf, salah satu upaya yang dikembangkan untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) adalah mengikuti tarekat. Tarekat berasal dari bahasa Arab, yakni thariqah, yang berarti jalan.
Sedikitnya terdapat 42 tarekat mu’tabarah (terkenal) di dunia. Mulai dari tarekat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Qadiriyah wan Naqsabandiyah, Syadziliyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Khalwatiyah, Syattariyah, Khalidiyah, Mufaridiyah, hingga Rifa’iyah.

I.      Pengertian Thorekat Rifa’iyah
Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al- Qulub-nya adalah;
”Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah).
Ajaran Rifa’iyah ialah suatu tuntunan Islam yang tertulis didalam kitab-kitab tarjumah berbahasa Jawa dan bahasa Melayu karangan Hadlaratusy K.H Rifa'i bin Muhammad. Dalam menguraikan ajaran Rifa’iyah, dia membagi menjadi dua aspek:
Pertama, ajaran yang bersifat ubudiyah, terdapat pada kitab-kitab Tarjumah yang ditulis oleh KH. Ahmad Rifa'i. Kitab Tarjumah itu berisikan bahasan tentang berbagai masalah ibadah, yang dirinci dalam bidang tauhid, fikih, dan tasawuf. Dikatakan sebagai kitab tarjumah karena bahasa yang dipergunakan dalam kitab itu adalah bahasa Jawa, sebagai terjemahan dari kitab-kitab al-Quran dan Sunnah, serta kitab-kitab para ulama yang dipandangnya baik. Adapun bentuk tulisannya Arab Jawa (Pegon), dengan uraian berbentuk syair. Kemampuan menyampaikan Islam dengan kitab berbahasa Jawa, dan berirama syair ini menarik bagi orang Jawa.
Di antara beberapa kitab karangannya, terdapat tiga buah yang merupakan induknya, yaitu Kitab Ri’ayatul Himmah, Kitab Abyanal Hawaij, dan Kitab Muhibbah. Ketiga kitab itu mengandung pelajaran dasar tentang ilmu tauhid, fikih, dan tasawuf. Ketiga kitab ini yang sering digunakan dalam pesantren-pesantren rifa’iyah. Oleh karena itu di bawah ini digambarkan ajaran Rifa’iyah dengan mengambil sumber dari ketiga kitab itu.
II.    Sejarah Thorekat Rifa’yah
Tarekat Rifa'iyah pertama kali muncul dan berkembang luas di wilayah Irak bagian selatan, didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Beliau lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H / 1106 M. Sumber lain ada juga yang menyebukan beliau lahir pada tahun 512 H / 1118 M. Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat menulis bahwa Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah Irak bagian selatan. Ketika berusia tujuh tahun ayahnya meninggal dunia, kemudia beliau diasuh oleh pamannya Mansur al-Bathaihi, seorang syekh tarekat.
Selain berguru kepada pamannya Mansur al-Bathaihi beliau juga belajar pada pamannya Abu al-Fadl Ali al-Wasiti, terutama tentang mazhab fikih Imam Syafi'i, sehingga pada usia 21 tahun beliau telah berhasil memperoleh ijazah dan khirqah sembilan dari pamannya, sebagai pertanda telah mendapat wewenang untuk mengajar pula.
John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern menuliskan bahwa garis keturunan ar-Rifa'i sampai kepada Junaid al-Baghdadi (wafat 910 M) dan Sahl al-Tustari (wafat 896 M).
Pada tahun 1145 ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk ar-Rifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.
Tarekat Rifa'iyah berbeda dengan Organisasi Kemasyarakatan Rifa'iyah yang ada di Indonesia. Ormas Rifa'iyah didirikan oleh Syekh Haji Ahmad ar-Rifa'i al-Jawi bin Muhammad bin Abi Sujak bin Sutjowijoyo, yang lahir pada 9 Muharam 1200 H / 1786 M di Desa Tempuran Kabupaten Kendal, terakhir dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Pemerintahan SBY.
Tarekat Rifa'iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting dalam pelembangan sufisme. Di bawah bimbingan ar-Rifa'i tarekat ini tumbuh subur, sehingga dalam tempo yang tidak terlalu lama tarekat ini berkembangan luas keluar Irak, di antaranya ke Mesir dan Suriah. Hal ini disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah.
Perkembangan berikutnya Tarekat Rifa'iyah sampai ke kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, Kaukasus dan wilayah Amerika Utara. Para murid Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut, alhasil jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah meningkat dengan sistem syekh turun-temurun.
Tarekat Rifa'iyah juga sampai tersebar ke Indonesia, seperti di Aceh (terutama di bagian barat dan utara), di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang berarti "tabuhan rebana" berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat Rifa'iyah sendiri.
Walaupun Tarekat Rifa'iyah terdapat di tempat-tempat lain, namun menurut Esposito tarekat ini paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Amerika Serikat.
Pada akhir masa kekuasaan Turki Usmaniyah (Ottoman), Rifa'iyah merupakan tarekat penting, keanggotaannya meliputi tujuh persen dari jumlah orang yang masuk tarekat sufi di Istanbul.
III. Ajaran Thorekat Rifa’yah
Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa'iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu minggu pada awal Muharam.
Menurut Sayyid Mahmud Abul al-Faidl al-Manufi, Tarekat Rifa'iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu :
1. Tidak meminta sesuatu.
2. Tidak menolak.
3. Tidak menunggu.
Sementara menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan ma'rifat (puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf).
Dalam pandangan Syekh ar-Rifa'i, sebagaimana diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan. Asketisme adalah langkah pertama seseorang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah dan bertawakkal kepada Allah. Menurut Syekh ar-Rifa'i "Barang siapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar".
Mengenai ma'rifat Syekh ar-Rifa'i berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan terbukanya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan ma'rifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni,MA dalam tulisannya mengenai Syekh ar-Rifa'i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa'iyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema "Cinta Ilahi" yang bunyinya : "Andaikan malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan menggelora/kecewa. Tanyalah atau biarkanlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya, sementara dia dipercaya tanpa-Nya dan dia tidak terbunuh, kematian itu istirah baginya. Bahkan dia tidak dapat mati sampai bebas karenanya".
Syair di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Rifa'i dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal Allah, yaitu tingkat ma'rifat.
Ciri khas Tarekat Rifa'iyah terletak pada dzikirnya yang disebut dengan darwis melolong, karena dilakukan bersama-sama dengan diiringi suara gendang bertalu-talu. Dzikir itu dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, seperti berguling-guling dalam bara api, tetapi mereka tidak terbakar sedikit pun.
Menurut John L Esposito, sebagian kaum Rifa'iyah terkenal karena mengikuti praktik upacara, seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca. Hal ini menyebar bersama Tarekat Rifa'iyah sampai ke Kepulauan Melayu. Namun saat ini praktik seperti itu tidak lagi dilakukan, karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di Sumatera para pengikut Rifa'iyah ini memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan senjata tajam, diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu. Dalam bahasa Arab Dabus artinya "besi yang tajam".
Christian Snouck Hurgronye dalam De Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang sering dimainkan di Sumatera ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa'iyah.
Dabus ini juga berkembang di daerah Sunda, seperti diungkapkan C.Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda.
Di Sumatera Barat kesenian dabus ini dikenal dengan sebutan TABUIK, tepatnya di daerah Padang Pariaman.
Dalam Encyklopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa'iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.

Secara etimologi pengertian tarekat berasal dari bahasa arab “ thariq" yang berarti jalan, cara, keadaan, haluan, aliran pada garis sesuatu. Sedangkan menurut istilah tarekat ialah perjalanan seorang slidik (pengikut tarekat) manuju tuhan dengan cara menyucikan diri. Dengan kata lain tarekat ialah perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Syarat utama yang perlu diperhatikan oleh pengikut tarekat ialah untuk mendekatkan diri pada Tuhan, tidak dibenarkan meninggalkan syari’ah.
Tarekat rifa’iyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Ali Al-Rifa’I (1106-500 H). Ciri khas tarekat Rifaiyah adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tarekat ialah suatu system dan cara-cara beramal dari irsyad seorang guru terhadap muridnya yang mengikat dalam suatu mazhab tertentu yang pada dasarnya untuk menjalankan sunnah Rasulullah saw secara optimal dan sungguh-sungguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nabi Yahya As

NABI YAHYA Allah SWT berfirman: "Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: 'Ya Tuh...